ATAS NAMA PALA
ATAS NAMA PALA

ATAS NAMA PALA

Kepulauan kecil yang selama berabad-abad dicatat sebagai kepingan surga yang jatuh ke bumi, bisa berubah menjadi neraka pada satu ketika. Alasannya: di kepingan surga itu tumbuh pala, tanaman purba beraroma wangi yang dililit mitos. Genderang pelayaran-pelayaran akbar ditabuh, peta dibuat untuk menemukannya. Pala adalah tanaman yang menentukan nasib sebuah tempat.

Masa Latar menyeka keringat di keningnya setelah satu jam berjalan. Matanya bulat dan bibirnya tak henti-henti tersenyum seakan ingin menenangkan saya yang kecapekan, bahwa kami pasti akan sampai di ladang, hanya butuh sedikit lagi kesabaran untuk terus mendaki. Tidak ada cara lain menuju ladang Masa selain menyusuri jalan setapak yang licin, mendaki punggung bukit, melewati ilalang penuh miang.

“Inilah ladang. Petatas su panen,” Masa berbicara sendiri begitu kami tiba di ladangnya. Ia kembali menyeka keringat dengan kain lusuh sembari tersenyum bangga seakan ladangnya adalah kebun hijau yang menghasilkan pangan berlimpah dan mencengangkan. Ladang penuh kebanggaan milik keluarga Masa tak lebih dari tanah dipenuhi bongkahan batu-batu besar di lereng perbukitan curam tempat ia bertanam ketu atau keladi dan petatas, ubi kayu yang mesti direbus dua kali biar yang mengonsumsinya tidak keracunan.

Kami makan ransum di ladang. Masa dan dua keponakannya Putri dan Gildan menyuap nasi dengan campuran jagung rebus, sedang saya disuguhkan nasi berlauk ikan. Saya makan dengan lahap, mereka memanen petatas, memisahkannya dari batu dan tanah. Panen yang membanggakan Masa ini adalah mengumpulkan petatas seukuran jempol kaki orang dewasa yang disusun dalam nggele, keranjang rotan, kemudian memikulnya pulang dan kembali melewati jalan yang sama; jalan curam, ilalang penuh miang.

Panen alih-alih berlimpah, susahnya bolak-balik ke ladang saja seakan tidak terbayarkan. Dari jalan menuruni perbukitan terlihat Laut Aru yang biru menghampar lapang, kapal-kapal besar penangkap tuna melego jangkar. Kata nelayan, tuna-tuna itu akan sampai ke Jawa, teronggok di piring makan wisatawan di Bali. Angin kering musim barat bertiup sekenanya, mengusir gerah menuruni bukit.

Malam, letih menyerang saya. Masa dan dua keponakannya yang masih SD tentu berbeda merasakan letih yang telah terbiasa mendera mereka. Malam ini, lampu dari generator desa tidak menyala dan kegelapan begitu leluasa merambat di ujung pergantian tahun 2016. Ketika cahaya lampu minyak tanah berpendar, Mustika Latar yang telah renta bernyanyi tanpa iringan alat musik. Masa Latar dan Ipasam Latar, dua orang anak perempuannya yang hampir paruh baya, juga beberapa cucunya, duduk melingkari Mustika.

Nairawati Wanda rei, suor e Lawataka Suore, kita takut meti lonthor fufuat wa sokaru, ikan puri ada timbul dari Pulo Rum e, siapa minum air hujan dari Pulo Ai e (perempuan-perempuan Naira di Tanah Banda, dari Tanjung Lawataka, pasang surut di Lontor yang menakutkan kita, gelombang melewati karang, ikan puri yang banyak di Pulau Rum, siapa meminum air hujan di Pulai Ai).

Onotan Sarawandan, begitu nyanyian itu disebut oleh Mustika dan masyarakat Banda Eli; perkampungan berisi seribuan orang yang menggantungkan hidup sebagai nelayan sekaligus bertani di tanah berbatu yang hampir tidak menjanjikan apa-apa sebagai bagian dari negara agraris bila dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia yang hijau. Untuk mencapai kampung yang terletak di pesisiran timur Pulau Kei Besar ini semua moda transportasi saya naiki: dari Jakarta saya terbang ke Ambon, naik pesawat lagi ke Tual. Di Tual mesti menginap, dan paginya saya berangkat ke Elat. Dari Elat naik ojek turun-naik tanjakan ke Yamtel. Dari Yamtel naik perahu mesin ke Banda Eli selama dua jam digoncang gelombang.

Akan tetapi, onotan yang didendangkan dengan suara setengah pasrah oleh Mustika bukanlah tentang kampung ini atau tentang ladang masyarakat Banda Eli di perbukitan, melainkan tentang tanah subur penghasil pala di Naira, Lawataka, Lontor, Rum atau Rhun, Ay, nama-nama tempat yang terpisah ratusan kilomenter di balik lapis ombak sana, dikungkung Laut Banda di Maluku Tengah. Google Map menulisnya dengan nama Banda Neira, sementara Mustika menyebutnya Tanah Banda.

Banda adalah kisah tentang bagaimana sebuah tanaman yang tidak hanya menentukan nasib sebuah tempat, tapi juga takdir masyarakatnya. Ahli botani sepakat menyebut buah dari tanaman ini dengan nama Myristica Fragrans. Masyarakat Banda menyebutnya pala. Cerita tentang tanah leluhur dalam onotan yang dinyanyikan Mustika adalah tanah penghasil pala, adalah juga tempat di mana kapitalisme global punya riwayat yang terentang panjang  ke masa lampau.

Jauh sebelum kalender Masehi dirujuk, pala telah menjadi komoditas lukratif yang menggerakkan perniagaan lintas benua. Pamornya mungkin lebih dari minyak bumi atau karet pada zaman industri. Itu pula sebabnya seorang penjelajah, Tome Pires bisa mengetahui pala, walau sejatinya petualang Portugis ini tidak pernah menyambangi Banda seumur hidupnya dan tidak pernah bertemu sebatang pohon pala pun. “Tuhan menciptakan fuli (bunga pala) untuk Banda,” catatnya dalam Suma Oriental.

Sebelum bibit pala diselundupkan untuk ditanam di banyak tempat di muka bumi, jauh sebelum Grenada menerakan gambar pala di bendera kebangsaannya, buah wangi itu hanya tumbuh di Banda. Dari Banda, pala, bersama rempah lain seperti cengkih di utara Maluku, diangkut oleh para pelaut Melayu, Tiongkok, dan India menggunakan kapal-kapal layar yang mengikuti pola angin menuju kota-kota bandar utama seperti Malaka dan Calicut. Setelahnya, para saudagar Arab mengapalkannya ke Teluk Persia dan Laut Merah, mengusungnya dalam karavan-karavan besar menuju seantero Jazirah dan Alexandria, menyeberangi perairan Mediterania, hingga akhirnya menyebar di daratan Eropa. Di Eropa harga pala bisa melonjak 60.000 kali lipat dari harga tempat ia dipanen. Dan, sekali lagi, pala hanya tumbuh di Banda. Pada waktu yang lain, harga per kilogramnya konon lebih mahal dari satu kilogram emas. Pala adalah salah satu produk ekspor pertama asal Indonesia, di masa ketika konsep Indonesia belum dikenal. Dunia mengenang rute yang panjang dan melelahkan sekaligus membingungkan itu sebagai Jalur Rempah, terminologi dagang yang jauh mendahului Jalur Sutra. Sebuah rute yang paling tua dan paling wangi di muka bumi.

Ludovico di Varthema, petualang Italia yang mengembara ke Banda pada 1505, beberapa tahun lebih awal dari Pires, mencatat, “Tak ada yang tumbuh di sini selain pala dan buah-buahan,” dalam The Travels of Ludovico di Varthema.

Varthema tak cuma bicara soal pala. Melalui catatannya, dia memperkenalkan sekelumit kehidupan sosial di Banda, tentunya dari perspektif manusia Eropa, negeri yang sedang dirundung perang berkepanjangan. “Hukum tak diperlukan di sini,” jelasnya tentang Banda, “sebab masyarakatnya begitu pandir. Bahkan, jika mereka ingin berbuat jahat sekalipun, mereka tidak akan mengerti caranya.”

Jurnal Varthema, yang diterbitkan pada 1510 di Roma, merupakan dokumentasi pertama karya orang Eropa yang menyinggung pala. Tulisan ini jugalah yang memberi bekal pengetahuan awal bagi pelaut Eropa untuk melacak Banda. Akan tetapi, berbeda dari kaum pedagang Tiongkok dan Arab dari era sebelumnya, orang-orang Eropa berburu pala lebih karena keterpaksaan.

Kekaisaran Bizantium runtuh, pala dan rempah lainnya raib dari peredaran. Penguasa baru, Kesultanan Usmani, menutup gerbang selatan Eropa kemudian menetapkan pajak rempah yang keterlaluan. Kepanikan pun menjalari kerajaan-kerajaan di Eropa dan cara baru menemukan rempah mesti lekas dirumuskan. Di situasi genting itulah sebuah inisiatif besar diambil: memulai babak eksplorasi ke Timur, tanah yang pada abad ke-10 diramallkan sebagai kepingan surga yang jatuh ke bumi oleh Peter Damian, seorang petapa sekaligus doktor gereja di Eropa.

Pala dicari karena mitosnya sebagai obat sekaligus bahan ramuan vitalitas. Di Inggris pada abad ke-16, pala diresepkan dokter untuk menyembuhkan beragam penyakit, mulai dari disentri hingga impotensi. Di tahun-tahun sebelum Masehi, pala dipakai sebagai salah satu bahan pewangi makam Firaun. Sementara di Eropa, pala dipakai di dapur sebagai pengawet makanan. Tanpa pala, kaum bangsawan dan borjuis Eropa hanya akan menyantap bangkai dan makanan basi.

Bartolomeu Dias tiba di tepi selatan Afrika pada 1488. Sepuluh tahun setelah itu, Vasco da Gama berlayar lebih jauh ke timur dan mendarat di India. Waktu itu, ketika Google Map belum tercipta, dan bumi belum rampung dipetakan, para pelaut Eropa memang berlayar dengan meraba-raba, secara bertahap, dan tak selalu berhasil. Ferdinand Magellan meregang nyawa di Filipina; Henry Hudson terdampar di padang es Greenland; Christopher Columbus tersesat di Amerika dan mengiranya sebagai India—sebuah kekeliruan fatal berumur ratusan tahun yang kemudian melahirkan kata “Indian.” “Sejarah dipenuhi paradoks, namun tak ada yang sedahsyat kisah eksplorasi bumi yang diawali oleh perburuan rempah,” simpul sejarawan John Keay dalam The Spice Route

Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) kongsi dagang Belanda yang gemilang, lahir pada 1602 dan kaya berkat rempah, terutama pala. Begitu juga East India Company (EIC), muncul dua tahun lebih awal di Inggris. Keduanya sama-sama datang ke Banda, sama-sama menginginkan Banda. Keduanya hadir sebagai mesin bisnis sekaligus mesin tempur yang menakhlukkan apa saja. Hanya saja kongsi Belanda ini lebih sadis, lebih pragmatis, juga lebih efektif dan tentunya lebih unggul. Di bawah kekuasaannya, Banda mengalami periode tergelap dalam sejarahnya. Surga yang dikatakan Peter Damian itu berubah menjadi neraka.

Jan Pieterszoon Coen, tokoh penting dalam pendirian Batavia; sebuah kota dagang yang kini bernama Jakarta, adalah nama yang sulit dibersihkan dari darah yang menggenangi Banda. Pada 1621, demi meredam perlawanan warga terhadap ambisi monopoli pala, Coen membantai 44 “orang kaya” (sebutan untuk pemimpin sosial dan intelektual di Banda). Kepala-kepala yang ditebas ditancapkan ke galah-galah sebagai teror bagi masyarakat Banda, dan di tahun yang sama Batavia berdiri sebagai sebuah kota dagang yang gemilang.

 “Kekejaman yang terjadi begitu mengerikan. Kami semua, sebagai penganut Kristen, merasa tak nyaman dengan cara penyelesaian masalah semacam itu,” kata Letnan Nicolas van Waert, salah seorang saksi pembantaian, seperti dikutip oleh Ian Burnet dalam East Indies.  

“Jangan patah harapan, jangan ampuni lawan, sebab Tuhan bersama kita,” begitu semboyan J.P. Coen yang dicetuskannya pada 1618, tiga tahun sebelum melibas Banda. VOC benar-benar mengubah surga rempah itu menjadi neraka, populasi Banda yang semula 15.000 jiwa tersisa 600 orang saja. Di kepulauan yang disebut Mustika dalam tembangnya inilah genosida pertama bangsa Eropa di Hindia Timur tercipta. Dan sejarah rempah tercium sebagai tonggak kapitalisme global yang sarat amis darah.

Orang-orang melaut, membelah bumi demi rempah, bertikai atas nama rempah. Hanya segelintir orang Banda yang berhasil melarikan diri dari kekejaman Coen. Sementara mereka yang bertahan mesti hidup menderita sebagai tawanan atau budak. Di kawasan utara Jakarta kini masih terdapat sebuah permukiman yang dinamai Kampung Bandan lantaran pernah dihuni orang-orang Banda yang dikapalkan ke Batavia sebagai budak. Di peta-peta kuno Eropa, Banda kadang ditulis “Bandan.” Mereka yang selamat dari pembantaian itu, mencari tempat baru, menuju pulau lain, salah satunya di Kecamatan Kei Besar Utara Timur, Maluku Tenggara, Provinsi Maluku ini yang mereka namakan dengan nama yang hampir sama dengan tanah asal: Banda Eli.

Orang-orang Banda, selama 400 tahun, hidup di tanah pelarian yang nyaris tidak tercatat, kecuali hanya dalam kidung onotan dengan lirik yang beragam. Di sinilah, pepatah Latin ‘verba volant scripta manent’ itu berlaku sebaliknya: ketika aksara lupa mencatat, nyanyian mengabadikannya.

Banda ditinggal penduduknya. Untuk menjalankan monopoli pala, VOC lalu mendatangkan pekerja dari berbagai penjuru. Maka wajar, di Kepulauan Banda hari ini, saya tidak pernah mendengar orang berbahasa Banda, melainkan bahasa Melayu dengan dialeg Maluku. Kata Wa Ramla, ibu angkat saya, masyarakat Banda Naira hari ini adalah keturunan dari campur baur Arab, Tiongkok, Jawa, Buton dan perantau lain yang datang untuk bekerja di kebun-kebun pala milik Belanda. Di waktu-waktu tertentu ada peziarah yang datang dengan kaki telanjang ke Banda. ”Itulah orang Banda asli,” kata Ramla.

Sebagaimana Banda Eli yang nyaris terisolasi di timur Pulau Kei Besar, Kepulauan Banda di tengah Laut Banda juga sebuah negeri yang susah dijelaskan, pulau-pulau mungil di tengah laut terdalam Indonesia; Pulau Banda Besar, Naira, Rosengain, Pisang, Ai, Rhun, termasuk pulau tanpa penduduk; Manukang, Nailaka, Karaka, Batu Kapal, Manuk. Luas total Kepulauan Banda hanya 172 kilometer persegi, kira-kira seperempat luas Jakarta. Jika musim badai berkelebat lama, masing-masing pulau terisolasi satu sama lainnya, harga kebutuhan pokok akan meroket.

Di Kepulauan Banda, tidak banyak yang bisa saya lakukan selain bercerita bersama penduduknya hingga lupa waktu, bermalas-malasan, mengajar di sekolah-sekolah, melihat bangunan tua, rumah tempat Hatta dan Syahrir diasingkan pemerintah kolonial, menyaksikan bagaimana pala masih tumbuh di Naira, Waer, Ai, Rosengain, Rhun—Rhun, demi mendapatkan pulau seluas 3X2 kilometer ini, Belanda memberikan daerah jajahannya di Benua Amerika, Niew Amsterdam (kini Lower Manhattan), tanah rawa yang kala itu tak menjanjikan apa-apa, kepada Inggris. Sejarah dunia mencatatnya sebagai Perjanjian Breda pada 31 Juli 1667 di Kota Breda, Belanda. Inggris dan Belanda meneken salah satu kesepakatan tukar guling termahal dalam sejarah perdagangan internasional.

Kini, banyak orang mengenal Manhattan di Amerika sana, atau barangkali pernah mengunjunginya. Akan tetapi tidak dengan Rhun. Saat Manhattan menjadi kota penting dunia yang ditaburi pencakar langit, butik, kampus, serta restoran dan bar yang malas tertidur, Rhun hanya berisi beberapa sepeda motor, dua sekolah setingkat SMP. Saat Manhattan menjadi tanah harapan bagi jutaan imigran, Rhun tak lebih dari noktah kecil yang terpental jauh di Dunia Ketiga tanpa jaringan internet dan sebagian masyarakatnya bercita-cita melihat Jakarta. Rhun begitu tenggelam pamornya sampai-sampai The Times Atlas of the World lupa menerangkan keberadaannya. Padahal dulu, pulau ini digambar ketika peta bumi belum utuh. Masih adakah kini negara yang rela membarter tanahnya dengan Rhun? 

Satu waktu saat saya mengajar di SMP Pulau Rhun, siswa kelas lain sedang mengamati teknologi baru: sebuah komputer bekas hasil rakitan. Seorang guru menerangkan fungsi komputer kepada para murid. Saat pelajar di Manhattan sudah berbicara artificial intelligent, anak-anak di Rhun baru mengenal kegunaan dasar komputer.

Di masa ketika kulkas telah ditemukan dan pala telah ditanam di banyak tempat hingga buah surgawi itu nyaris tidak berharga, pala masih menjadi sandaran nasib orang-orang di Kepulauan Banda. Pala masih dipetik dengan cara purba, dan kemajuan selama empat abad hanyalah membuat manisan dari kulit pala yang dijual seharga 5.000 rupiah.

***

Di sini di kampung Banda Eli di Pulau Kei Besar, tanah pelarian yang terpisah ratusan kilometer dari Kepulauan Banda, para keturunan Banda “asli” masih mengenang tanah leluhur mereka dalam nyanyian. Menurut Timo Kaartinen dalam Songs of Travel and Stories of Place : Poetics of Absence in an Eastern Indonesian Society, nyanyian migrasi ini membangkitkan leluhur Banda sebagai sosok ingatan yang tidak terbatas pada Banda sebagai entitas historis dan geografis. Belasan keturunan lahir sejak moyang mereka melarikan diri dari tanah asal. Pala, memang pernah diselundupkan dan ditanam di Banda Eli, namun tanaman itu tidak banyak memberi harapan. Tanah di Banda dan Tanah di Banda Eli tentu berbeda, sebagaimana juga nasibnya.

Tidak hanya dalam kidung, mereka juga mengabadikan tanah leluhur di belakang nama mereka seperti Lawataka, Latar atau Lonthor, Rosengain. Mukkadam Rumra misalnya, nama Rumra yang tertulis di belakang namanya adalah tanda bagi moyang mereka yang datang dari Pulau Rhun. Kata lelaki paruh baya ini, keterikatan mereka dengan Tanah Banda tidak semata ada dalam nyanyian dan nama. Bila orang-orang Banda Eli hendak ke Ambon, Makassar atau Jawa, kapal Pelni yang membawa mereka dari kepungan Laut Aru akan singgah dan bersandar di Kepulauan Banda beberapa jam, kadang molor enam jam bila musim panen pala. Di saat itulah, orang-orang Banda Eli akan turun dari kapal, membuka alas kaki mereka, bersujud mencium Tanah Banda, berziarah ke makam-makam tua yang tak jauh dari pelabuhan, kemudian naik kembali ke kapal. Bahkan, sebagaimana ditulis Willard A. Hanna dalam Indonesian Banda, jika Jan Pieterszoon Coen dapat kembali ke Banda, mungkin dia akan terkejut saat mengetahui bagaimana luka psikis yang dialami masyarakat Banda diwariskan selama hampir empat abad lamanya.

Sebentar lagi, terompet tahun baru akan bersahut-sahutan di Jakarta. Dan di Banda Eli, bila generator desa menyala, masyarakatnya tenggelam dalam angan-angan menonton sinetron bikinan Jakarta. Namun, bila generator desa tidak menyala, perempuan-perempuan tua mungkin masih bernyanyi, sayup, acak: tub hob dein ohe, o mungne de leran mungne de, omo fe yaau i bo o lar lifan, enharang rom ine, na fonuo Eli rarono i rau, ni buah pala matasi (mimpi yang dipesan tadi malam, suatu hari kau akan ingat, siksaanku akan menunjukkan keterikatan kita, ke ceruk terdalam di Eli yang jauh, pohon pala telah mati).

Artikel ini terbit di National Geographic Indonesia edisi Februari 2021

Beli buku ini di sini

Judul: The Banda Journal, Jurnal Banda @thebandajournalFotografer:@mfimagesPenulis: @fatrismfFormat: Softcover dengan penjilidan Swiss BindingTebal: 16,5 x 24 cm, 240 halamanBahasa: Indonesia dan Inggris (dwibahasa)ISBN: 978-1-7354521-0-4Penerbit: @jordanjordan.co

Comments are closed.