INDONESIA DI MATA PENJELAJAH
INDONESIA DI MATA PENJELAJAH

INDONESIA DI MATA PENJELAJAH

Gambaran pulau-pulau di Indonesia yang gemah ripah loh jinawi begitu kentara dalam catatan petualangan Tomé Pires, Suma Oriental. Di bagian tengah Sumatera, pelancong kelahiran Portugis itu mengisahkan danau kembar yang berair manis dan dilayari perahu-perahu ramping. Di rahim kedua danau itu, hidup ikan-ikan yang tidak terdapat pada danau lain.

Di Jawa, Pires mencatat Kerajaan Sunda yang diperintah orang-orang yang jujur, serta penduduk yang menetap di rumah-rumah beratap nyiur. Sunda menjalin hubungan niaga dengan Malaka, bahkan Maladewa. Produksi lada melimpah. Hasil alam cukup untuk mengisi seribu kapal dalam setahun. Pelabuhan disibukkan aktivitas perdagangan, mulai dari beras hingga budak.

Selain lebih banyak membicarakan kota-kota maritim di Jawa, Pires banyak menyinggung sisi timur Sumatera, termasuk tentang Siak dan Singapura. Dibanding pantai timurnya, pantai barat Sumatera ketika itu terabaikan. Pires berkelana pada 1512-1515, tahun-tahun awal Portugis berkuasa di Malaka. Itu barangkali sebabnya dia lebih banyak berbicara tentang pesisir timur yang memang lebih vital secara politis.

Kira-kira tiga abad setelahnya, fokus pelancong asing beralih. Seorang Belanda menggelar tur di Sumatera pada 1822-1824.Mayor Jenderal Nahuys Van Burgst melintasi sisi tengah pulau, dari tepi barat ke timur. Tiga tahun kemudian, jurnal sang mayjen diterbitkan dengan judul panjang: Brieven Over Bencoolen, Padang, Het Rijk Van Menang-Kabau, Rhiouw, Sincapoera En Poelo-Pinang.

Pantai barat Sumatera menerima lebih banyak perhatian. Mula-mula Van Burgst menceritakan kunjungannya ke Bengkulu, saat kota ini masih berada di bawah kekuasaan Inggris. Benteng Inggris, dalam pandangannya, adalah bangunan kokoh dan indah yang sulit ditembus. Setelah itu, dia mengupas banyak aspek lain, misalnya metode cocok tanam yang unik dan sulaman tradisional yang eksotik.

Dari Bengkulu, Van Burgst ke utara menyusuri pesisir barat dan mendarat di Padang. Ulasan Padang cukup panjang, walau kota ini dianggap tak penting olehnya. “Padang adalah kota yang berantakan,” tulisnya. Padang, dalam perspektifnya yang Eropa-sentris, hanyalah sebuah hunian kecil bangsa Eropa yang paling daif dan berantakan di antara hunian Eropa lain yang pernah dikunjunginya di Hindia. “Dan saya bisa mengatakannya kepada Anda bahwa saya belum pernah melihat tiga buah rumah yang terawat baik di seluruh Padang.”

Potret itu barangkali benar. Di awal-awal kehadirannya kembali di Padang, Belanda disibukkan oleh Perang Padri di pedalaman Minangkabau. Tapi hampir seperempat abad kemudian, gambaran yang kontras kita temukan dalam diari F.C. Wilson. “Lain dulu lain sekarang,” kata petualang Belanda itu tentang Nusantara. Dia mengutip sebuah idiom Melayu untuk menggambarkan dunia yang sudah berubah.

Wilson menyusun sebuah antologi cerita perjalanan yang diberinya judul Lain Dooeloe, Lain Sakarang of Voorheen En Thans.Buku berbahasa Belanda ini memuat belasan kisah, hampir seluruhnya tentang Sumatera. Dalam pandangan penulis, Padang bersama kota-kota di tengah Sumatera sibuk bersolek pasca-Perang Padri. Jalan raya membentang rapi dengan barisan pohon di sisinya. Bangunan publik seperti kantor residen dan penjara berdiri megah.

Deskripsi Padang juga tertera dalam Travels in the East Indian Archipelago yang terbit dalam bahasa Inggris pada 1868. Albert Smith Bickmore menguraikan jalan-jalan yang lapang, kota yang tertata dan indah. Tapi Padang hanya mendapat porsi secuil, sebab buku ini berniat menyoroti Nusantara.

Travels in the East Indian Archipelago adalah salah satu buku perjalanan yang cukup kompleks. Pengarangnya seorang naturalis kelahiran Amerika yang awalnya singgah di Indonesia untuk sekadar mempelajari botani di Ambon. Menulis sebuah volume cerita perjalanan bukan ide yang dicanangkannya dengan serius. Smith paham, rezim Belanda tak sudi pelancong asing leluasa berkeliaran di luar Jawa. Untungnya, dia mendapat pengecualian dari otoritas Belanda. Barangkali untuk membalas budi itu, bukunya didedikasikan salah satunya bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Di bagian awal buku, Smith menuturkan kunjungannya ke Bandung dan Batavia. Pelbagai topik diangkat, termasuk sejarah, komposisi etnis, hingga lanskap alam. Di bagian berikutnya, dia berpaling ke Semarang dan Surabaya. Kali ini dia secara lebih gamblang membedah pengaruh Hindu di kalangan muslim, jalan raya dan jalur telegraf yang sudah menghubungkan Jawa, serta tebu yang menjadi komoditas unggulan.

Smith lalu menyeberang ke Celebes dan Timor. Fauna dan flora menuai atensinya. Sang pelimbang lalu melangkah ke Ambon dan Seram untuk mendokumentasikan pantainya yang indah, juga ke pulau-pulau sekitar semacam Banda, Buru, Ternate, dan Tidore. Di utara Sulawesi, Smith terpikat oleh artefak purba di Minahasa.

Smith lalu melompat ke Sumatera. Di Pulau Andalas ini, dia pertama-tama mengunjungi kota di pesisir Barat, lalu naik ke dataran tinggi menyambangi Danau Maninjau dan Gunung Ophir yang dijuluki “Gunung Emas.” Selanjutnya, dia melewati Lembah Bonjol, Lubuk Sikapiang, dan Lembah Rao yang subur—daerah-daerah yang setengah abad sebelumnya ternodai pergolakan agama.

Dia terus mendaki jalan berkelok di punggung Bukit Barisan, menuju kawasan orang Batak yang dijulukinya “tanah para kanibal.” Dari sana, dia memutar ke Padang lewat Tapanuli, Air Bangis, dan Natal. Tujuan Smith berikutnya adalah kota kuno Minangkabau di Pagaruyung yang telah dilenyapkan pengikut Padri, lalu dibangun kembali oleh pemerintah kolonial.

Dan Smith tertumbuk di Kerinci. Dari sini, dia ke selatan, mengunjungi Bengkulu, Tebing Tinggi, lalu Bungamas guna melihat gajah dan harimau. Setelah berbelok ke timur dan menyeberang ke Bangka, Smith menutup ekspedisinya.

Padang kini tak lagi seapik seperti yang diriwayatkan Smith dan Wilson. Padang kembali menjadi kota semrawut di abad ke-21. Kota-kota di barat Sumatera hari ini memang masih banyak tertinggal dibandingkan koleganya di timur. Kota Pekanbaru, Palembang, atau Jambi misalnya, berlari kencang dipacu bisnis minyak, karet, dan sawit.

Seorang pengelana Amerika pernah menyatroni Palembang dan Jambi pada pertengahan abad ke-19. Bukunya yang kaya deskripsi, The Prison of Weltevreden, yang terbit dalam bahasa Inggris pada 1855, membedah pertumbuhan beberapa kota di timur Sumatera. Penulisnya, Walter Murray Gibson, lahir di Inggris tapi tumbuh di South Carolina. Dia berlayar ke Sumatera dan tiba di Palembang pada awal 1852.Gibson ditangkap Belanda di Palembang ketika mencoba berkomunikasi dengan pemerintah Jambi yang dicap pemberontak oleh pemerintah kolonial. Dia dipenjarakan di Weltevreden, tapi berhasil kabur.

Bukunya merekam apa saja dari daerah yang dikunjunginya. Bahkan ada banyak bumbu di sana-sini. Salah satu tempat yang mendapat perhatiannya adalah Palembang. Gibson melukiskannya sebagai negeri para pemberani, di mana orang-orang berjuang melawan cengkeraman penjajah. Satu setengah abad kemudian, citra pemberani masih melekat pada masyarakat Palembang.

Gibson juga ke Jambi ketika komoditas karet sedang jaya, kendati 75 tahun kemudian bisnis karet runtuh akibat krisis dunia, hingga kesultanan makmur yang dulu memukau Gibson berubah melarat. Jambi kini masih berstatus sentra karet, sementara Palembang menjadi salah satu kota terpenting di Sumatera.

***

Dibiayai salah satunya oleh Ringo Starr, penjelajahan kakak beradik Lawrence dan Lorne Blair dimulai pada 1972: dari Krakatau di Selat Sunda menuju pulau-pulau yang sulit dijangkau di Banda Neira, menemui suku pedalaman yang awalnya diduga sudah punah di Kalimantan, terpukau oleh tarian cenderawasih dan menyelidiki penyebab kematian Michael Rockefeller di Papua. Selain film, eksplorasi itu menelurkan satu judul buku, Ring of Fire, yang terbit pada 1988 dan diterjemahkan dengan gagap ke Bahasa Indonesia pada 2012.

Berbekal ilmu antropologi, Lawrence dengan luwes mengulas kebudayaan suku-suku terisolasi di Borneo dan Papua. Di Sumba, mereka menghadiri upacara pemakaman Raja Pau dan merekam tradisi perang Pasola. Empat puluh tahun setelah itu, saya mendatangi daerah yang sama. Tidak banyak yang berubah. Kultus terhadap kuda dan hari Pasola masih lestari, walau dengan gairah yang sedikit bergeser ke arah pariwisata.

Duet Blair juga mengagumi pinisi dan Suku Bugis. Lawrence mencatat: “Kaum Bugis adalah penjahat-penjahat berhiaskan permata dan berserban sutra yang mewarnai arketipe bajak laut dalam imajinasi Barat, mempertontonkan keahlian memakai badik dan melaut bagaikan iblis, serta mewariskan identitas yang mengisi mimpi buruk kami.”

Suatu kali, keduanya menumpang pinisi yang bertolak dari Bira menuju Kepulauan Aru. Tapi mereka kecewa. Katanya: “Sempat tergolong navigator paling ulung di lautan, yang dipandu oleh pola ombak dan petunjuk berupa rumput laut dan kotoran burung, kaum Bugis kini telah kehilangan demikian banyak kepercayaan terhadap pengetahuan lama.”

Mundur seabad, Alfred Russel Wallace juga mengembara dengan pinisi. Namun pria Inggris ini menorehkan catatan berbeda dari yang diukir Blair bersaudara. “Betapa menawan semua yang tersaji di kapal ini. Tak ada cat, tak ada tar, tak ada tambang, tanpa minyak dan pernis. Yang ada hanya bambu, rotan, tali serat, dan atap rumbia… mengingatkan pada suasana tenang hutan yang hijau dan teduh,” kenangnya dalam The Malay Archipelago (diterjemahkan menjadi Kepulauan Nusantara pada 2009).

Wallace bukan seorang pengagum pinisi, walau dalam pengembaraannya di Nusantara lebih banyak menggunakan akses lautan. Nusantara yang kemudian dibubuhinya garis batas: antara Lombok dan Bali, juga antara Borneo dan Sulawesi. Sebuah demarkasi zooekologis yang memisahkan habitat satwa yang berkarakter Asia dengan satwa peralihan yang berkarakter Australia.

Wallace seorang naturalis. Dia penggemar merak dan cenderawasih. Dia juga pengumpul siput, serangga, dan reptil. Di Borneo, dia menembak selusin orangutan untuk diawetkan dan diteliti. Wallace mengarungi Nusantara ketika flora dan faunanya nyaris tak terusik. Dia mendatangi Sumatera saat badak masih berstatus hama bagi petani, bahkan ketika orang-orang Melayu sibuk membuat perangkap macan di Singapura.

Nusantara ternyata berubah, tidak beku sebagaimana anggapan banyak pelancong. Teks-teks perjalanan telah menginspirasi kaum avonturir Eropa untuk melacak dunia baru. Di sisi yang berbeda, teks-teks itu juga tanpa sadar sejalan dengan kepentingan pariwisata: menstimulasi arus pelancong ke Nusantara. Bisa dibilang, karya-karya para penjelajah masa silam adalah bentuk promosi paling awal dalam sejarah pariwisata Indonesia, sekalipun terdapat kecurigaan gambaran mereka keliru atau berlebihan akibat terjebak pada sudut pandang sempit “Eropa.”

Dalam karyanya yang fenomenal, Orientalism, Edward Said melakukan penelusuran atas karya-karya asing (termasuk kisah perjalanan) seputar negeri-negeri Timur. Gambaran para penulis Eropa itu, menurut Said, tidak hanya berkutat pada kemolekan alam, tapi juga cenderung menitikberatkan pada perbedaan Timur dan Barat. Jika Barat mewakili rasionalitas, modernitas, dan peradaban, maka Timur adalah negasinya: malas, beringas, irasional.

Terkait itu, sejarawan Denys Lombard menarik sebuah kesimpulan dalam bukunya yang terkenal, Nusa Jawa: Silang Budaya: “Lebih dari satu abad kemudian, citra Kepulauan Indonesia pada kami masih sering merupakan citra eksotisme. Mooi Indie, Hindia yang molek, sebagaimana kepulauan itu disebutkan pada zaman penjajahan, masih ada. Seakan tidak ada perubahan berarti yang dialami masyarakat Indonesia selama berabad-abad itu.” Masyarakatnya, memakai bahasa Lombard lagi, “beku dalam keindahan yang berwarna-warni.”

Info buku:

• Suma Oriental of Tomé Pires: An Account of the East, from the Red Sea to China; 1944, ditulis pada 1512-1515; Tomé Pires
• The Malay Archipelago; 1869; Alfred Russel Wallace
• The Prison of Weltevreden and a Glance at the East Indian Archipelago; 1855; Walter Murray Gibson
• Brieven Over Bencoolen, Padang, Het Rijk Van Menang-Kabau, Rhiouw, Sincapoera En Poelo-Pinang; 1827; Hubert Gerard Nahuys Van Burgst
• Ring of Fire: An Indonesia Odyssey; 1988; Lawrence Blair & Lorne Blair.
• Travels in the East Indian Archipelago; 1869; Albert Smith Bickmore

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Jul/Ags 2014 (“Lain Dulu Lain Sekarang”)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *