GELAP TERANG PEDALAMAN SIBERUT
GELAP TERANG PEDALAMAN SIBERUT

GELAP TERANG PEDALAMAN SIBERUT

“Tidak, saya tidak mau jadi sikerei. Tidak akan!” kata Lepon Salakkirat. Suara lelaki kecil belasan tahun ini memecah sunyi uma. Angin malam bertiup kencang, membuat tali-temali penuh tengkorak binatang yang digantung di loteng itu bergerak, saling bergesekan. Mengeluarkan suara gemeretak kecil. Gesekan tulang yang bikin ngilu.

Aman Lepon adalah ayah Lepon, dan Aman Lau’lau’ kakeknya, tersenyum ringkih mendengar kata-kata Lepon. Kedua lelaki itu saling mengalihkan tatapan ke luar beranda. Tiada yang terlihat, selain kegelapan, begitu pekat, menyelimuti seluruh hutan Dusun Butui. Hanya cericit suara jangkrik dari kejauhan, dan dengus binatang malam sesekali terdengar. Selebihnya sunyi. Rimba Siberut bagai dilumuri tinta hitam. Bukankah tidak ada yang lebih hitam dari kegelapan, Lepon? Bintang bertebaran di langit, tetapi malam tetap saja gulita. Kami duduk di balai-balai uma, dengan penerang seadanya.

Aman Lau’lau’ menggaruk pinggang. Membuat jengat keriputnya meregang, dan tato bermotif duri di lengannya terlihat saling menyisik. Di bahu depannya, rajah sibalubalu yang ditatah dengan noktah hitam menyerupai semburat cahaya matahari, terlihat bergetar dalam cahaya temaram. Ia, dan Aman Lepon, anaknya, adalah dua orang sikerei— dukun, penjinak bisa. Charles Lindsey dan Reimar Schefold dalam bukunya Mentawai Shaman menyebutnya sebagai keeper of the rain forest, penjaga keharmonisan hutan. Penjaga hutan di bumi Indonesia dengan yang telah dirusaki.

[URIS id=856]

Mereka hidup di hutan, bertuhan pada alam roh dalam ajaran yang mereka sebut Arat Sabulungan. Tuhan dalam kepercayaan orang Mentawai ada dalam garis besar trinitas: roh yang berada di hutan, sungai, dan langit (udara). Ketiganya merupakan ‘makhluk’ suci, ketiganya tidak boleh dirusak. Bahkan, buang hajat pun tidak mereka lakukan di sungai. Sungai adalah sumber kehidupan. Mengotori sungai, berarti, mengotori kehidupan. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, berburu, beternak, memakan sagu. Uma, kediaman mereka, didesain merujuk filosofi adat. Betapa hidup mereka terpaut dengan alam.

“Lalu, kau mau jadi apa? Siapa lagi lelaki yang akan menjaga uma ini bila kelak ayahmu dan aku sudah tiada?” suara tua Aman Lau’lau’ terdengar lirih, menyelinap dari kejauhan bagai rintihan Hideyoshi, seorang samurai tua dalam novel Taiko, Eiji Yoshikawa yang terkenal itu. Hideyoshi, menelan tangisnya sendiri begitu mengetahui anaknya tidak ingin menjadi samurai. Ia sangsi pada keadaan dan masa depan, ketika kampung-kampung di Jepang porak-poranda dalam kecamuk perang antar klan.

Tetapi, bukankah perang klan di Mentawai sudah tidak ada lagi? Dan tradisi pemenggalan kepala musuh telah dihapuskan berabad silam di sini? Apa pentingnya sebuah uma untuk dijaga, dan apa perlunya seorang sikerei?

“Tidak ada paksaan untuk menjadi sikerei, Anakku!” Aman Lau’lau’ berkata pelan dan datar. Suara parau yang keluar dari kerongkongan kering sikerei tua itu, entah sebuah kegamangan atau sebuah ketakutan menatap hari depan, ikut membuat hati saya lena. Lau’lau’ tua masih ingat, bagaimana ia harus menari di atas bara dan nyala api pada ritual pengabisan penobatannya menjadi sikerei. Bagaimana pedihnya ketika sipatiti (semacam mpu pembuat tato) menusukkan ujung duri, menatahkan arang ke kulitnya.

“Tapi ketika itu saya masih sangat muda, masih gagah,” katanya kepada saya dengan tatapan tajam ke luar uma. Dan, yang terlihat tetap saja kegelapan. Malam baru dimulai di hutan Siberut. Dalam cahaya minyak tanah, motif-motif purba penjaga hutan yang tertatah di sekujur tubuhnya bagai lukisan abstrak yang dengan warna dan garis yang tegas.

“Tato merupakan identitas bagi orang Mentawai,” kata Adi Rosa, pengamat tato lulusan Seni Rupa ITB, pada lain kesempatan. Pada tato terdapat pengalaman seseorang. Dari klan mana ia berasal, atau sehebat apa ia berburu, tercermin dari tato yang tertatah di tubuhnya. Tato yang membaluri dari kepala hingga kaki mereka, tak hanya sunggingan arang di dalam kulit saja, bukan tatahan gambar semata, melainkan sebuah pancaran. Pancaran roh dari kehidupan seseorang, kata Adi lagi.
Namun, sekarang, zaman modern telah begitu leluasa masuk tanpa bisa dihambat. Anak-anak mereka mulai diseret arus modernisasi, beragama monoteis, berpakaian, bersekolah, mengenal tulisan, meminum Coca-cola, memakai celana jins. Ada tembok tinggi modernitas yang tidak bisa diloncati usia. Bahkan, sudah tidak ada lagi anak muda Mentawai yang ingin tubuhnya ditato. “Apalagi mereka telah mencicipi pendidikan di luar Mentawai, tato suku mereka sendiri mereka anggap sebagai ketololan dan primitif,” saya teringat kata-kata Adi lagi.

Saya masih dalam uma malam itu. Duduk dikelilingi para sikerei lain yang tengah menghisap tembakau dan tak pernah berhenti tadi sore. Semua sikerei perokok berat, tak heran bila ‘rokok’ disebut ‘obat’ oleh orang Mentawai. Obat yang membuat bermenung, obat pembuka cerita, obat. Lampu minyak tanah mengeluarkan cahaya temaram, menguning, membikin bayang-bayang gelap pada tiang, pada tengkorak-tengkorak monyet dan babi yang digantung di loteng.
“Saya ingin jadi guru,” Lepon kembali bersuara. Kali ini tanpa keragu-raguanan. Beberapa perempuan di uma, yang sibuk menyusukan anak-anak mereka, mengulum senyum mendengar suara Lepon. Pembicaraan seolah berhenti, kalimat Lepon sebentar tadi telah menjadi penutupnya. Uma besar yang tadinya berisik oleh suara perempuan, sontak diam. Kami hanyut dalam angan masing-masing. Angin rimba bertiup lagi, perlahan sekali dan dingin. Sedingin perbincangan malam ini. Keheningan berkelebat dalam remang cahaya di dalam uma.

Dalam diam, Aman Lepon dan Aman Lau’lau’ berjalan gontai menuju ruang belakang, mengeluarkan salipa— tas dari kulit kayu berisi dedaunan, racun dan arang. Mereka mendandani tubuh mereka sendiri dengan hitam arang dan dedaunan. Kemudian mereka saling menghentakkan kaki ke lantai papan uma, membuat rumah besar ini terasa berayun dalam cahaya obor, lantai papan saling bergesekan. Ritme hentakan yang kacau itu, kian lama kian dinamis. Tangan mereka mengepak-ngepak, memantulkan bayangan patah-patah ke dinding uma. Dua orang lelaki lain yang sedari tadi duduk di balai-balai kini berjalan tergesa masuk ruang belakang, mengeluarkan gendang kecil dengan membran kulit ular dan menabuhnya.

Dalam trans, hentakan kaki kedua lelaki itu makin tak terkendali. Ritme mistik para pemanggil roh yang menghantam lapis-lapis papan, menggetarkan seisi uma. Mata mereka nanar, seperti melihat sesuatu petaka dari kejauhan. Kata-kata, entah lapalan mantra yang didengungkan, terdengar begitu miris menyeruak dingin malam, dedaunan yang membalut lengan dan kening memantulkan kilaun ke mata saya. Entakan kaki itu kian kencang, tubuh mereka melayang-layang dalam cahaya obor.Apa yang tengah terjadi, Aman?

Pulau Siberut cuma seluas 4.480 kilometer persegi, tujuh kali luas Kota Jakarta. Tapi pulau ini merupakan pulau terbesar di antara tiga pulau lain dan puluhan pulau kecil yang mengelilinginya dalam gugusan kepulauan Mentawai. Di Pulau Siberut ini pula, satu-satunya pulau di mana hutan masih tersisa di kepulauan Mentawai. Ombak yang tinggi, badai dan angin kencang, hingga arus gelombang yang tak menentu membuat kepulauan ini (terutama Siberut) terisolasi walau hanya terpisah 150 kilmometer jarak dari Kota Padang, kota utama Sumatera Barat.


Mentawai, orang-orang Eropa di masa lalu menyebutnya ‘Poggies’. Mereka datang ke kepulauan ini pada pertengahan abad ke-18 dengan tujuan berdagang. Selain sagu, di sini tumbuh pala panjang dan kayu merbau. Belanda ingin mendirikan koloni di jejeran pulau yang kebanyakan tidak berpenghuni ini, namun rencana itu gagal karena hujan yang terus-menerus turun, dan malaria mulai menjangkiti.

Seorang pria Inggris, William Marsden, dalam The History of Sumatra, menceritakan dengan tergesa-gesa tentang keadaan pulau-pulau terluar yang berjejer di barat Indonesia ini. Tentang orang-orangnya yang berkulit coklat muda, bersenjatakan busur dan panah yang terbuat dari bambu sementara ujungnya terbuat dari perunggu. Agama mereka menyerupai agama orang Batak. Tetapi cara mereka menguburkan mayat menyerupai cara-cara orang Pasifik. Mayat mereka diletakkan di atas panggung, ditutupi daun, dan dibiarkan hancur dengan sendirinya. Marsden juga menuliskan tentang titi, pentatoan badan yang dimulai sejak usia tujuh tahun. Tato, yang di abad kita kini masih dapat ditemukan, sekali pun perlahan-lahan telah tergerus zaman.

Seorang Inggris lain, John Christie, pada abad ke-19 melakukan beberapa kunjungan ke pulau-pulau Mentawai. Dalam catatannya, kepulauan ini disebut Mintaon. Dia datang untuk kepentingan ekspor kayu. Kayu, yang memang, banyak dihasilkan hutan Mentawai.

Barangkali, sejak saat itu, pulau ini jadi rebutan para para investor, pemerintah, LSM, dan masyarakat. Dan, sekali lagi, kayu adalah salah satu sebabnya. Sejarah ekploitas atas hutan Mentawai adalah sejarah yang tidak pendek. Belanda melakukannya, lalu pemerintah republik. Di pengujung tahun 1945, pemerintah mencoba membangun program relokasi penduduk di Pulau Siberut, namun program itu sama sekali jauh dari keberhasilan.
Pada 1975, masyarakat yang dianggap pemerintah memiliki pola hidup primitif ini, dikelompokkan dalam sebuah perkampungan baru yang dibentuk Departemen Sosial. Pemerintah menekan orang-orang Mentawai untuk pindah dari uma mereka. Tak berapa lama setelah itu, pembalakan hutan Siberut merajalela. Masa Orde Baru adalah puncak pembalakan, kayu-kayu gelondongan diangkut dari Mentawai dengan kapal-kapal besar untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik kertas dan triplek di berbagai daerah di Indonesia. Di pesisir bagian selatan Padang misalnya, sebuah pabrik kayu lapis pernah maju. Kayu-kayunya dipasok dari hutan Mentawai. Ketika kayu-kayu di hutan Mentawai kian menipis, pabrik itu gulung tikar belasan tahun silam.

Sejak relokasi dan terutama perkembangan teknologi benar-benar telah membuat uma tidak memiliki tempat lagi di tanah dan di hati orang Mentawai. Hanya sebagian kecil dari mereka yang masih bertahan. Hal ini yang membuat kebudayaan Mentawai terlihat samar.

 Tato atau titi yang membaluri nyaris seluruh bagian tubuh masyarakat di pedalaman Siberut

Dalam cucuran keringat, Aman Lepon dan Aman Lau’lau’, dua sikerei itu terus menari. Turuk Bilou tarian itu dinamakan. Tarian bilou, tarian yang mengadopsi gerak siamang hitam yang hidup endemik di hutan Siberut. Hutan yang pada 1981 ditetapkan UNESCO sebagai cagar biosfir Indonesia Taman Nasional Siberut. Hutan Siberut yang diperebutkan berbagai pihak.

Di hutan Taman Nasional Siberut, 60 persen mamalia diberi status endemis. Statistik yang membuat pulau yang berada di kawasan Cincin Api ini disejajarkan dengan Madagaskar dalam hal populasi primata endemisnya. Siamang kerdil bilou, dan spesies langka monyet hitam-kuning lazim disebut ‘simpai Mentawai’ oleh penduduk setempat merupakan sebagian kecil pesies primata yang yang menampilkan karakteristik primitif yang menarik beberapa peneliti tengan studi evolusi spesies di kepulauan yang diperkirakan patah 500.000 tahun silam dari seluruh Sumatera. Pemisahan tersebut mengakibatkan flora dan fauna yang begitu unik dan distingtif.

Kembali ke dalam uma.

Lepon memandang tenang ke arah kakek dan ayahnya yang sedang menari. Saya melihat mereka dengan takjub. Menjadi sikerei memang tidak mudah. Dunia pariwisata menjadikan mereka objek tontonan. Di satu sisi, kepentingan pariwisata meminta mereka untuk tetap lestari di hutan, hidup purba dengan berburu dan mengayak sagu. Hutan memberi mereka rotan, nilam, cengkeh, babi, monyet. Hutan memberi mereka hidup. Namun di sisi lain, mereka dalam gejolak masa transisi peralihan ke modernisasi. Modernitas mengajarkan tentang hak, hak untuk mendapatkan berpendidikan, hak untuk makan makanan higienis, dan hak untuk menatap masa depan yang dianggap lebih maju. Hak untuk menjadi guru, tentu saja, sebagaimana cita-cita Lepon. Huh, Aman, perubahan datang begitu tergesa-gesa, bukan?

Di tahun 1980-an, gelombang besar arus pariwisata deras mengalir ke Mentawai, tepatnya ke Pulau Siberut, pulau yang dianggap masih memiliki hutan perawan dan sukunya yang masih alami di tengah pulau-pulau lain di Mentawai yang telah dibabat dengan kurang ajar. Namun, sesungguhnya, pulau ini telah didatangi pelancong lebih lama dari itu. Buku-buku panduan pariwisata kolonial berbahasa Belanda abad ke-19, telah menjadikan berkunjung ke pulau ini sebagai bagian dari paket plesiran ke Sumatera. Orang-orang Eropa yang pada saat itu tergila-gila pada eksotisme dunia timur, berdatangan ke pulau ini. Melihat ombak yang bergulung tinggi, hutan perawan dimana-mana, suku-suku pedalaman dengan tato mereka yang kuno. “Dunia seakan dikejutkan dengan keberadaan mereka, juga tato di badan mereka yang tertua di dunia”, saya teringkat kata-kata Adi Rosa kembali.

Kebudayaan di suku pedalaman telah mengalami pemudaran, ia tidak lagi lestari. Mereka telah modern. Bagaimana mungkin sebuah kebudayaan bisa dilestarikan sementara ia adalah hal yang terus bergerak? Bagaimana mungkin manusia bisa diharapakan untuk tetap “bersetia pada kekunoannya”, padahal manusia pemilik sah kebudayaan? Bagaimana mungkin kita mendengung-dengungkan lestarikan kebudayaan, sementara suatu zaman menciptakan kebudayaannya sendiri? Tidakkah kata lestari pun mengandung bias politis? Kita diangankan untuk tetap menjadi laboratiorium raksasa tempat artefak-artefak kebudayaan tegak berdiri. Lestari, yang dalam kamus bahasa Indonesia berarti terjaga, tidak berubah. Bagaimana kebudayaan bisa tetap sementara ia hasil olah pikir dan rasa manusia, yang tidak bisa untuk tidak tetap? Owwaik, banyak sekali tanda tanya saya bubuhi dalam tulisan perjalanan ini.

Apa yang didengung-dengungkan sebagai ‘lestari’ tidak ada bedanya dengan ‘beku’. Tidakkah kata lestari tidak pernah cocok untuk manusia atau kebudayaannya. Kata lestari hanya cocok untuk hewan dan tumbuhan, hanya cocok untuk benda-benda. Ketika kebudayaan lestari, bukankah kebudayaan berhenti sebagai kebudayaan—dan dia telah menjadi artefak, beku dalam diamnya? Saya menceracau sendiri dalam gelap dan amuk kantuk. Dalam uma, saya terperangkap dalam masa lampau,tanpa aliran listrik dan sinyal seluler. Tidak ada yang dikerjakan selain bertukar cerita. Kedua sikerei tadi duduk kembali di serambi dengan keringat yang telah mengering di badan. Angin rimba kembali bertiup perlahan, membuat dedaunan dan reranting di luar saling bergesekan dan suaranya sampai ke dalam tidur saya di dalam uma.
Di Siberut, kini, hanya tinggal beberapa uma yang masih kokoh berdiri dan berpenghuni. Beberapa uma lain hanya dihuni ketika hendak melayani tamu yang datang dalam paket plesiran. Pada tahun 1901, para misionaris kristen mulai berdatangan ke Mentawai. Gelombang ini kemudian diikuti gelombang kedatangan pendakwah-pendakwah muslim beberapa puluh tahun setelahnya. Dua agama langit ini saling bersaing merebut hati penduduk Mentawai. “Di pulau Siberut, mereka membakar uma kami, simbol adat yang kami junjung tinggi!” Minarse, putri dari seorang sikerei dari Dusun Sakudei itu berkata, berapi-api dengan tatapan menyala menentang saya.

Entah hari ke berapa saya di hutan hujan ini dengan pakaian yang belum diganti dan bau keringat yang itu ke itu juga. Di sungai jernih di depan uma, saya mandi. Dalam uma saya makan, minum kopi, mengobrol, tertawa-tawa, menertawai ketololan diri sendiri-sendiri. Di satu pagi, saya hadir dalam sorak anak-anak di sekolah hutan yang dibangun seorang pastur. Sekolah yang hanya berdinding papan, dan ank-anak tanpa seragam, tanpa sepatu. Namun keceriaan begitu terpancar dari tatapan mereka. Siapa dapat menjamin kebahagiaan atas diri seseorang?
Di belakang uma, Aman Lau’lau’ meracik obat dari dedaunan. Setelah memantrai, racikan dituang ke dalam mulut seorang bayi yang tengah sakit dalam pelukan ibunya di uma. Tangisan sang bayi terhenti. Lagi-lagi, angin rimba bertiup kencang, membuat tali-temali penuh tengkorak binatang yang digantung di loteng itu bergerak, saling bergesekan. Mengeluarkan suara gemeretak kecil. Gesekan tulang yang bikin ngilu. Kita musti berpisah, Aman.
“Secepat itukah?” Sikerei tua Aman Lau’lau’ pura-pura terkejut. Ia kemudian mengantar saya hingga sungai kecil yang melintang segaris dengan umanya. Saya menyalaminya dalam diam, dia tertawa. Entah menertawakan apa. Kadang kita tak punya alasan untuk tertawa, tapi ada segudang alasan yang dibuat-buat untuk menangis. Aman Lau’lau’ tua, tinggalah dalam rimbamu.

Saya meninggalkan Hutan Butui, keluar dari dusun Ugai, menembus hujan di Desa Madobag, Siberut Selatan. Saya kembali melewati jam-jam melelahkan di atas perahu menyusuri Sungai Silaoinan, dan sungai-sungai coklat lainnya yang membelah Siberut. Hutan bakau, rawa-rawa yang memantulkan langit sore.

Dari Muara Siberut, saya menumpang kapal cepat dengan nama Sikerei milik Bupati Mentawai. Sebegitu agungkah sikerei hingga ia dinamakan untuk sebuah kapal dinas Bupati? Ingatan saya kembali ke Lepon. Di dalam kapal, orang-orang termenung dalam rasa mual, mabuk laut yang mulai akut. Sikerei melepas jangkar. Langit pagi yang terang, jejeran pulau-pulau tak berpenghuni, resor-resor anggun menawarkan surga, pohon kelapa, entah apalagi, silih berganti dilewati. Gulungan ombak besar tampak saling berkejaran.

“Mereka adalah orang yang kuat, karena hidup dalam akar kebudayaan sendiri. Hanya saja, sekarang mereka telah kehilangan identitas itu, walau tidak sepenuhnya,” kata Pius, pastor dari keuskupan Italia. Pius yang kerap disapa Pastor Pio oleh orang Mentawai ini, berdomisili di Mentawai sejak 30 tahun silam. Sang pastur membangun sekolah di beberapa tempat pedalaman Mentawai, dan juga membangun resor: Manai Koat Guest House di Siberut dan Manai Koat Resort di Simakakang. Keduanya merupakan resor privat yang tidak dilalui atau disinggahi kapal penumpang. Puluhan resor lain, bermunculan, tumbuh bagai cendawan di musim hujan, semua menawarkan privat di pulau-pulau kecil yang tersebar di Kepulauan Mentawai.

Sejak akhir 1990-an, Mentawai lebih banyak didatangi peselancar. Ombak dan alam bawah lautnya lebih menggiurkan wisatawan dari kebudayaannya yang tampak telah pudar dan bergeser. “Mentawai International Pro Surf Competition 2013” begitu tulis spanduk di Katiet, ketika Sikerei melepas jangkar. Ada dua spot di Mentawai, spot lances right dan macaronies masuk ke dalam sepuluh spot terbaik dunia,” kata Desti Semi Nora, Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga. Kepulauan Mentawai memiliki sebanyak tujuh puluh satu titik lokasi selancar dengan empat puluh sembilan titik yang terkategori eksklusif.

Selancar merupakan magnet dalam memacu arus ke Kepulauan Mentawai. Karakter ombak yang bermacam-macam menjadikan daya tarik bagi kaum pembawa papan. “Lebih dari delapan puluh empat persen wisatawan yang datang ke Mentawai adalah peselancar,” tambah Desti. Walau, tsunami dan gempa pernah menggoncang Mentawai tiga tahun silam, bukanlah suatu hal yang menyurutkan para peselancar berdatangan ke bumi sikerei ini.

Mentawai, memang penuh dengan ragam destinasi. Namun harga minyak yang mahal, adalah salah satu alasan kenapa ongkos kapal dan perahu melonjak. Saya mengambang di laut Aloita Resort, Pulau Simakakang—pulau kecil yang berjarak sepuluh menit perjalanan dengan boat dari Tua Pejat—melihat terumbu karang, ikan-ikan berlarian berkelompok. Beberapa tahun lalu, di Pantai Jati, Tua pejat saya juga menyelam, dibawa hanyut oleh ikan warna-warni yang berenang berkelompok di sela terumbu karang. Ada juga hiu yang awalnya membuat saya takut. Tapi, nelayan di sini bilang tidak ada hiu Indonesia yang makan manusia. Saya jadi tenang bermain dengan hiu. Alam bawah laut seperti sebuah dunia lain yang damai.

Namun suara Lepon, masih tetap tinggal, terngiang-ngiang di telinga saya. “Saya ingin jadi guru!” Tetapi Lepon, tidakkah seorang sikerei juga adalah seorang guru—guru bagi kaummu?

 

Published DestinAsian Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *