Atas nama pala, orang Banda yang hidup dibawa ke Batavia untuk dijadikan budak (Kampung Bandan di utara Jakarta dinamakan demikian karena orang Banda yang dulunya banyak mendiami daerah ini), sementara sisanya berhasil kabur ke wilayah lain di sekitar Maluku dengan perahu. Bulan ini tepat 350 tahun setelah perjanjian itu diteken. Bagaimanakah kehidupan orang-orang yang selamat dari pembantaian itu?
Di pesisir timur Pulau Kei Besar, terdapat beberapa kampung yang dihuni oleh keturunan orang-orang Banda yang berhasil melarikan diri dari pembantaian itu, salah satunya Banda Eli. Tak ada catatan jelas kapan persisnya mereka pertama kali mendarat di tempat ini. Namun hingga kini, mereka merawatnya dalam nyanyian yang disebut Onotan Sarawandan. Kisah-kisah tentang keberangkatan mereka meninggalkan Kepulauan Banda, juga cerita kedatangan kaum penjajah, masih didendangkan turun-temurun. Selain lewat nyanyian, kenangan pada kampung halaman juga diabadikan lewat nama marga yang identik dengan nama kampung-kampung yang masih ada di Banda hingga kini: Lonthor, Lawataka, Salamun, Naira, Rosinggin. Nama-nama perkampungan yang justru tidak pernah mereka huni lagi. Setelah pembantaian itu, populasi Banda telah digantikan oleh kaum pekerja yang datang dari Jawa, Madura, dan Sulawesi.
Fotografer Muhammad Fadli dan penulis Fatris MF merekam kehidupan di Banda Eli sebagai bagian dari The Banda Journal. Proyek dokumenter kolaborasi ini akan segera diterbitkan. Foto-foto di bawah ini merupakan bagian dari buku ”The Banda Journal”, sebuah proyek kolaborasi yang dikerjakannya sejak 2014 lalu.