Menemui Prajnaparamita ke Tepian Batanghari
Menemui Prajnaparamita ke Tepian Batanghari

Menemui Prajnaparamita ke Tepian Batanghari

 

Menurut sebuah anekdot, separuh umur orang Melayu dihabiskan untuk minum kopi dan bercerita. Separuhnya lagi untuk tidur dan berangan-angan. Sedang, bekerja hanya sambilan di antara kedua aktivitas tersebut. Anekdot tersebut diamini orang Melayu dengan sukacita. Bagi orang Melayu, tiada ada alasan untuk tidak berbahagia. 


Dari kaca bis yang melaju pelan, saya menyaksikan perempuan-perempuan dengan rambut basah menggendong bakul penuh kain cucian, berjalan sambil bercanda di tepian Batanghari. Sementara para lelaki bertelanjang dada, menggendong anak dengan kain batik terselempang ke pinggul di beranda rumah kayu, sambil menghisap rokok dan menyeruput kopi panas. Kadang-kadang mereka melepaskan pandang ke hilir-mudik kendaraan yang lalu-lalang di jalan Lintas Sumatera. Ada juga di antara mereka yang terlihat asik bercerita di warung-warung  dan di depan mereka gelas kopi mengeluarkan asap. Bercerita, sebagaimana rata-rata kebiasaan orang Melayu, sama seperti bernapas. Bahkan di dalam kubur pun Orang Melayu masih bercerita. Dan tentu saja ceritanya tak lebih dari angan-angan semata.

Saya memasuki Kota Jambi pada suatu pagi di hari Minggu. Dari kaca bis yang buram oleh dingin AC dan hujan, samar-samar terlihat gerbang kota, gapura bertuliskan “Selamat Datang di Jambi Kota Beradat”. Bis yang saya tumpangi melintas di bawahnya. Namun, belum seluruh badan bis melintasi gapura tersebut, supir menginjak rem dengan tiba-tiba. Penumpang sontak terhuyung ke depan. Sepasang remaja tengah asik bermesraan dan tertawa-tawa di atas sepeda motor yang terseok-seok seperti ular kekenyangan di depan bus kami. Saya sedang di Jambi Kota Beradat, saking beradatnya, kawasan lokalisasi Payo Sigadung atau yang kerap disebut ‘pucuk’ oleh warga Jambi, telah beberapa bulan lalu digusur, dan tak lama lagi pesantren megah akan berdiri menggantikannya. Lupakan Pucuk.

Hari ini hari libur. Hari yang juga berarti bebas dari apapun yang menekan. Libur yang dalam artian pepatah Melayu sebagai hari haram untuk bekerja—walaupun sebetulnya, bagi orang Melayu, di hari lain bekerja juga tidak diartikan dengan sungguh-sungguh. Siapapun tidak boleh bekerja di hari libur. Saya mungkin terlalu berlebihan memaknai adekdot Melayu. 

Bis kami berjalan pelan saja, melintasi daerah datar sehabis pandang: hutan karet di kanan-kiri dan rumah beratap genteng tembikar di sela-selanya. Kadang,  jalan raya mendekat ke tepian Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera yang bermataair di Bukit Barisan. Sungai besar berair keruh yang berkelok dan bercabang sepanjang 800 kilometer membelah pulau Sumatera, memberi peran yang tak kalah penting dalam jalur dagang, yang berimplikasi bagi sejarah Jambi.  

“Mari saya temani berkeliling,” Chairan Hafzan, penyair Jambi  bertubuh kerempeng dengan mata bulat cekung menyambut saya. Saya berkeliling Kota Jambi bersama penyair Jambi bertampang suram. Sebagaimana kota-kota kecil dunia ketiga yang tumbuh pesat dan semrawut, Jambi mekar dengan semena-mena, plaza dan hipermarket menyesak ke jalan-jalan, kaki lima berseliweran. 

Pasar Angso Duo yang merupakan denyut nadi utama perekonomian di Kota Jambi, adalah pasar tradisional yang terperangkap di ruang modernisasi. Penjual sayuran segar menggelar dagangan di samping penjual pakaian bekas impor yang menjadi ‘jajanan’ wajib siapa pun yang datang ke sini, tak terkecuali beberapa selebritis Indonesia yang pernah mengunjungi Jambi. Selebritis kaya dengan gaya hidup congkak dan norak juga banyak yang berbelanja ke sini?

 “Makanya, beli TV!” Hafzan berkomentar ketus menjawab pertanyaan saya sambil membuang muka ke Batanghari yang keruh. Hampir sekeruh tatapannya.

Tidak jauh dari Angso Duo, menara dan tugu didirikan, yang diharapkan sebagai destinasi pariwisata di masa depan. Mesin pengeruk masih mengepulkan asap pembangunan Proyek Menara Gentala Arasy yang dipopulerkan dengan nama Jam Gedang. Sebuah jam besar tak berapa lama lagi akan berdiri di tengah Kota Jambi, di pinggir Batanghari yang keruh itu. Tak jauh dari Menara Gentala Arasy, sebuah tempat rekreasi lain telah rampung.  ‘Ancol’ tempat itu dinamai.

‘Jam Gedang’ mirip dengan nama ‘Jam Gadang’—jam besar peninggalan pemerintahan kolonial pada 1826 yang tegak di jantung Kota Bukittinggi, jauh di barat Sumatera sana. Ancol, bukankah nama itu juga diambil dari nama destinasi pariwisata daerah lain, nun di Jakarta sana? Jambi ingin mendatangkan wisatawan sebanyak mungkin, walau dengan keterbatasan ide dan penamaan? 

“Ada kawasan Pal Merah, Kebun Jeruk. Tugu Monas juga ada di sini walau tidak sebesar di Jakarta. E, jangan tertawa kau, aku serius!” kata Hafzan sembari melototkan mata. Mata penyair dengan sorotan yang aneh. Semakin melotot, malah semakin cekung terlihat.

Dari kawasan Ancol, dari debu pembangunan menara Jam Gedang yang menjulang, saya melihat Batanghari yang dipenuhi perahu. Ke tempat lain, dari sisi Batanghari itu, kami kini akan menuju. Kami berjalan meninggalkan ‘kawasan kota dengan nama-nama duplikat’ itu. Mengunjungi destinasi yang lebih alami, tetapi yang justru diabaikan tenggelam. 

Masa lalu di tepi Batanghari

***

Dari tepian Batanghari, perahu-perahu terlihat kecil bagai lalat di atas punggung naga. Tongkang-tongkang penambang pasir telah mulai mengepulkan asap kelabu ke langit sejak fajar bangkit. Sementara di tubir sungai, rumah-rumah panggung berdiri dengan tiang-tiang penyangga dari kayu. Atapnya genteng tembikar kusam hampir sewarna dengan air Batanghari. 

Getek, sebutan untuk perahu bermesin tempel, merayap mengeluarkan asap. Kami melintasi Batanghari kini, salah satu sungai terbesar di Sumatera. Teman saya Fadli, fotografer, datang di hari berikutnya. Kami duduk di atas sebuah getek berbahan bakar solar yang melaju lamban. Bunyinya memekakkan telinga. “Kenapa mesinnya berisik sekali, Pak?” tanya saya pada Arif, nakhoda getek yang selalu tersenyum. “Ha?” ia menjawab lagi dengan pertanyaan. Selalu begitu setiap kali saya bertanya. Mesin getek membuat kami diam dalam angan-angan masing-masing. Setiap kata-kata yang kami keluarkan ditelan bulat-bulat oleh deru mesin perahu. 

Sebagaimana laju getek, pagi tampaknya juga tidak dimulai dengan tergesa-gesa di sini. Karena memang tidak ada yang perlu dikejar. Ketika matahari telah meninggi, dari rumah-rumah panggung di tepian sungai itu, barulah satu per satu perempuan-perempuan dengan rambut yang basah menggendong bakul penuh kain cucian. Tergesa-gesa, memang bukan tabiat orang Melayu. Tak lari gunung dikejar, begitu pepatah kuno Melayu menitahkan wahyu. Buat apa tergesa-gesa?

Mereka berjalan bergerombol mendatangi sungai sambil bercanda. Seakan-akan Batanghari lapangan luas tempat kebahagiaan kanak-kanak bermula. Sementara beberapa orang laki-laki terlihat masih mengenakan kain sarung, bertelanjang dada. Sesekali mereka menguapkan kantuk ke luas langit pagi yang masih menyimpan dingin. Beberapa laki-laki lain telah duduk di beranda menyeruput kopi. Sesekali mereka melambaikan tangan ke arah kami, dan berpose dengan gelagat yang janggal, agar layak dipotret dari getek kami yang melaju lamban sekali. 

Sementara, kapal bermerek Marcopolo berselisih jalan dengan getek kami. Kapal itu tidak berlayar untuk sebuah ekspedisi mencari emas atau rempah sebagaimana kapal pelaut Marcopolo abad ke-13 yang juga konon pernah berlayar ke Batanghari. “Kapal itu hendak mengangkut batu bara, “ kata Arif berkata dengan menghardik. Batubara yang ditambang di lepas sungai Batanghari, penambangan yang dulu telah dimulai sejak abad ke-19 di Sumatera. Batu hitam yang juga turut menggerakkan revolusi industri di Eropa sana, sekarang masih tersisa dan masih saja ditambang.

Perahu kecil bermesin tempel itu terus merayap pelan mengikuti arus Batanghari, meninggalkan Kota Jambi, menuju arah ke hilir sungai, melewati jembatan yang panjang tempat truk-truk dengan bak besar sarat muatan sawit melintas di atasnya. Sawit memang telah mengubah Jambi dari kota miskin tertinggal menjadi kota kaya-raya di Sumatera Tengah abad ke-21. Sebagaimana karet pada periode Hindia Belanda yang telah mengubah Kesultanan Jambi yang miskin menjadi kerajaan makmur. 

Berjarak 30 kilometer dari Kota Jambi ke arah hulu (ataukah ke arah hilir?) Batanghari, di tanah seluas 20 kilometer persegi, tampak sebuah komplek situs bernama Candi Muarojambi. Candi, rumah bagi bangunan-bangunan suci yang konon berasal dari abad ketujuh, warisan Kerajaan Melayu Kuno yang pernah jaya. Kompleks ini selama berabad-abad tenggelam ditimbun tanah dan ditutup hutan. Tapi dunia belum ingin melupakannya. Pada abad ke-20, para arkeolog menemukan Candi Muarojambi. Getek masih berjalan lamban.

Beberapa lelaki di tambang batubara skala kecil di tepian Batanghari tampak sedang menyalakan mesin. Batubara sudah tidak lagi sepopuler dulu ketika abad ke-19, tetapi orang-orang masih tetap mengekstraknya. Sementara tambang emas dengan mesin pengeruk seadanya juga beberapa kali saya temukan sepanjang perjalanan, terserak di pesisir sungai. Dari dasar Batanghari, pasir-pasir diangkat, disaring, lalu diperiksa dengan penuh kejelian—dan kecemasan. Pada serpihan emas tambangan itulah, ribuan keluarga menggantungkan hidup, ribuan nyawa menyandarkan harapan. 

Masa kejayaan emas juga telah lama berlalu. Sejak abad ke-16, dari muara sangai besar ini, hingga nun ratusan kilometer ke arah hulu di pedalaman Minangkabau, penduduk pribumi telah mengeruk logam mulia itu. Bahkan, kerajaan-kerajaan patah-tumbuh dan hilang-berganti di tanah Melayu berdasarkan fluktuasi kejayaan emas. Sumatera memang pulau emas, swarnadwipa ia disebut. Dari arah tongkang pasir yang berpapasan dengan perahu kami, laki-laki berbadan legam menatap kosong ke arah kami sambil menghembuskan asap rokok ke udara senyap. Dia di antara salah seorang penambang tentunya. 

Getek yang kami tumpangi merapat tidak sampai sejam kemudian. Mesin tempel yang meraung-raung kini sunyi senyap. Hutan hujan tropis terkangkang di depan mata, pohon-pohon tinggi hijau berdiri. Di hadapan kami, Candi Tinggi tegak dalam diam. Candi yang terbuat dari batubata kuning dan tua. Dikelilingi pohon-pohon besar yang hijau rampak dan rindang, kontras dengan warna candi. Candi Tinggi, berbentuk persegi empat tingkatan dengan tiga lapis anak tangga. 

Pada jarak tiga meter ke arah selatan dari Candi Tinggi, terdapat bangunan lain yang diperkirakan mendapa, ruangan tanpa dinding berukuran 40 meter persegi yang terdiri dari tiga atau empat lapis susunan bata. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Kota Jambi menyebutkan bahwa di beberapa reruntuhan bangunan mendapa ini, pernah ditemukan benda-benda dari emas dan batu mulia. Lagi-lagi emas, Sumatera memang lumbungnya di masa silam hingga hari ini.

Tetapi, candi yang diam itu, riwayat apakah gerangan yang hendak diungkapkannya kepada kami?

Catatan dari Song, dinasti yang berkuasa di daratan Tiongkok abad ke-10 hingg ke-13, menyebutnya Zhanbei. Catatan yang sama kadang menyebutnya San-bo-Zhai. Para sejarawan abad modern menerjemahkannya sebagai Jambi. Kota pelabuhan yang pernah penting. Kota pelabuhan utama Kerajaan Malayu yang pernah makmur. 

Penduduk kota itu, catatan Tiongkok itu sekali lagi menyebutkan, sebagaimana dihimpun W. P. Groeneveldt dalam buku Nusantara dalam Catatan Tionghoa, membuat arak dari bunga, kelapa, pinang, atau madu yang semuanya memabukkan. Mereka membuat musik dengan menghentakkan kaki mereka ke tanah dan bernyanyi. Mereka membangun kota yang dikelilingi benteng pertahanan yang terbuat dari batubata. Penduduk tinggal bertebaran di luar kota dan tidak membayar pajak.

Jambi di masa lalu berada dalam rute pelayaran yang sibuk antara Tiongkok dan India.  Kota pelabuhan itu memainkan peran yang besar dalam perdagangan maritim awal. Catatan dinasti Tang, dinasti yang berkuat abad ke-7 di Cina, menyebutkan bahwa selama abad ke-7 dan ke-9 Masehi, Jambi mengirim utusan ke kerajaan Cina berulang kali. Utusan dari Cina juga beberapa kali berkunjung, saling mengirim upeti dan hadiah. I-Tsing, pengelana Tiongkok, mencatat kota pelabuhan itu ramai oleh kapal-kapal niaga. 

Para peziarah Cina yang hendak ke India, maupun sebaliknya, menghabiskan waktu yang panjang untuk singgah menunggu musim pelayaran di kota ini, kota pelabuhan yang terlindung dari pusaran arus besar samudra. Pusat-pusat studi agama Budha kemudian berkembang di kota-kota yang disinggahi peziarah, termasuk di Jambi. 

Kawasan percandian Muara Jambi ini diduga merupakan sebuah komplek perguruan yang memuat ribuan orang cantrik (murid) dari berbagai negeri yang datang belajar. Akibatnya terbangun sebuah jaringan kultural, yang melintasi Cina, kota-kota di peninsula Asia Tenggara seperti Kamboja dan Campa, kota-kota di tanah Melayu seperti Palembang dan Jambi sendiri. Jaringan  yang nanti akan berakhir di India. 

Jaringan yang dibangun saudagar, peziarah, dan para cantrik abad ke-7 itu masih dikenang di abad sekarang. Sebuah pohon bodhi ditanam biksu Tibet yang datang berkunjung ke Muarojambi beberapa tahun silam. Di bawah pohon ini kami duduk, minum melepas dahaga. Pohon suci tempat sang Budha Gautama memberoleh pencerahan. Matahari bersinar terik di atas kepala. “Bayangkan, mereka membawa oleh-oleh ke sini. Dan itu pohon ini,” ujar Haviz, pemuda yang memandu kami. Sekarang pohon itu telah sangat tinggi dan bahkan susah untuk melihat pucuknya. 

Di hari berikutnya, saya terus melanjutkan ‘ziarah’ kami, mendatangi Candi Gumpung yang terletak 200 meter dari Candi Tinggi. Bangunan yang terlihat seperti sebuah gerbang, sebuah gapura, setinggi 6 meter dari susunan batubata itu menghadap ke timur, ke arah matahari muncul. Beberapa pengunjung mendatanginya dengan mata penuh curiga dan tatapan ketakmengertian seperti saya. “Puti Pinang Masak yang membangun ini,” kata seorang gadis berkacamata hitam, menjawab ketakmengertian saya. 

Puti Pinang Masak? Saya mengikuti langkah gadis ‘peziarah’ itu, kami sama-sama menaiki anak tangga. Arca gajah yang terdapat pada situs itu hanya diliriknya sebentar. Dengan jemarinya yang lentik, ia mengusap-usap susunan batubata, dan kemudian mengeluarkan Blackbery dari dalam saku celananya, lalu memotret sudut-sudut candi.

Dari Candi Gampung, ada jalan kecil menuju Candi Gedong. Jalan kecil itu dihubungkan dengan jembatan yang melintasi kanal kecil. Di rimbun pohon karet dan pohon-pohon besar yang tua, Candi Gedong bagai batubata yang ditumpuk hampir tak berbentuk. Penuh lumut di sana-sini. Hanya gerbang tinggi yang terlihat utuh menghadap ke arah saya—yang secara tidak sadar juga berdiri di atas sebuah candi. 

Susah membedakan mana yang candi mana yang tanah. Reruntuhan candi itu belum dipugar sepenuhnya, hanya onggokan batubata yang rata-rata menghadap ke timur, dijaga dengung nyamuk yang berkeliaran nakal.  Dokumentasi UNESCO pada 2009 menyebutkan, Muarojambi mengoleksi 82 situs yang membentang sejauh 7,5 kilometer di tepian Sungai Batanghari. Beberapa ekskavasi setelah itu berhasil menemukan dua situs baru. 

Di mana Puti Pinang Masak? Betulkah putri itu, yang dalam bahasa Melayu dilafalkan “puti”, membangun candi-candi di sini? Mungkinkah dia tokoh yang membeku dalam mitos Batanghari?

Puti  Selaro Pinang Masak adalah penguasa Jambi sebelum Islam datang. Seorang ratu dari tanah Melayu, suku yang lebih dikenal sebagai penganut patriarkat. Lalu, pada abad ke-14, tersebutlah nama Ahmad Salim yang berlayar dari Turki (sebagian menyebutnya dari Persia) bersama beberapa anak semang. Ia hendak berdagang ke Selat Malaka yang terkenal sebagai tempat bertemunya para pedagang dari seluruh penjuru dunia. Ia yang tak cukup pengalaman mengarungi lautan,  hampir terperangkap di laut Cina Selatan yang dipenuhi perompak dan akhirnya tersesat di salah satu pulau di pesisir timur Jambi yang merupakan daerah kekuasaan dari Puti Selaro Pinang Masak. Putri cantik yang kulitnya putih kekuning-kuningan bagai pinang masak. 

Mendengar kabar itu, Puti segera mengirim dubalang-dubalang istana  untuk melumpuhkan sekelompok orang yang tersesat itu. Dubalang-dubalang itu kembali menghadap Puti dengan tangan hampa, tanpa tawanan.

 “Bagaimana kami hendak membunuh orang tersesat itu, Puan, sedang mereka tidak satu pun yang bersenjata,” seorang dubalang kerajaan menghadap, demikian diceritakan Datuk Sulaiman, pemuka adat Jambi dengan berapi-api

Akhirnya Puti sendiri yang datang menjumpai mereka di pulau itu. Waktu, ataukah lautan yang membuat mereka saling jatuh cinta. Ahmad Salim, yang menganut Islam, diterima oleh Puti sebagai pendamping hidup. Secara perlahan, ajaran Budha meredup. Puti hidup dalam keyakinan baru. Dan sesuai adat Melayu, lelaki bila sudah dewasa musti diberi gelar. Maka Ahmad Salim dipanggil Datuk Paduko Berhalo. Gelar yang berasal dari peralihan keyakinan masyarakat di sini. Gelar yang kemudian dijadikan nama pulau tempat ia mula-mula terdampar: Pulau Berhala. 

“Ah, Datuk itu hanya hidup dalam mitos, pun Puti Selaro Pinang Masak,” kata Nurul Fahmi, pemerhati sejarah Jambi, membantah cerita itu. Kami duduk di tepi sebuah telaga suci.  Menurut Fahmi, data sejarah tidak satupun membuktikan cerita itu. “Kelemahan dari sejarah Jambi, tidak adanya bukti tertulis yang ditemukan,” ujar Kristianto yang bekerja sebagai pemugar candi. Misteri apa sebetulnya yang tersimpan di abad-abad yang tak tertuliskan itu? 

Sekelompok pengunjung bersepeda melintas sembari tertawa ke arah Candi Gedong menggangu lamunan saya. Tiga lelaki melepas alas kaki, lalu memasuki candi, membakar dupa dan berdoa. Kelompok pengunjung lain tertawa-tawa sambil menenteng makanan di samping tiga lelaki yang tengah sembahyang. “Mereka memang tidak diajar menghormati orang lain menjalankan agama,” kata Hafiz. “Tidak mungkin,” sanggah saya,“ kita bertahun-tahun diajarkan Pendidikikan Moral Pancasila di bangku sekolah. Apa itu tidak cukup membuat kita bermoral, Haviz?” 

Di komplek situs Muara Jambi, terdapat sebuah pusat informasi yang sekaligus berfungsi sebagai museum kecil. Kini kami memasukinya. Kini kami sejenak hendak meninggalkan candi-candi di luar sana. Ketika kami masuk, Arca Dwarapala  tersenyum ramah seperti mengetahui kedatangan kami. Arca batu setinggi orang dewasa itu tersenyum, terlihat lucu dan jenaka, walau pada wajahnya tumbuh misai yang lebat. Tangan kanannya memegang tameng, dan yang kiri memegang sesuatu yang telah patah. “Itu gada,” kata penjaga. 

“Tapi kenapa telinganya sumbing dan pecah?” tanya saya lagi. Menurut pemugar candi, lokasi ditemukannya arca ini terpisah jauh dari penemuan kepingan telinganya yang telah sumbing. “Saya tidak tahu pasti,” kata penjaga itu lagi. Kristianto, pegawai dinas Purbakala  berbisik pada saya, “mungkin penganut Islam fanatik di masa lalu telah memenggalnya karena menganggapnya sebagai berhala. Tapi, kemungkinan itu kecil sekali.” 

Di pojok museum, ada Arca Prajnaparamita yang cantik, namun tidak bekepala. Ia duduk bersila seperti sedang mempraktekkan ritual. Kepalanya telah dipenggal entah siapa. Kepalanya telah raib entah ke mana, senasib dengan Arca Gajah yang seperti dibelah dengan sengaja. Apa gerangan permusuhan yang terjadi dulu, itu pun jika ada permusuhan. “Tidakkah Ahmad Salim, si penyebar Islam awal, datang dengan tidak bersenjata ke sini?” tanya saya setengah terheran. 

Tidak jauh dari museum, kami berjalan terus arah ke selatan komplek Muara Jambi. “Mpu Kusuma bermakam di sini,” kata Haviz  menerangkan isi prasasti yang terdapat di Candi Astano, ketika kami sampai di candi yang juga terbuat dari batubata itu. “Mpu Kusuma?” tanya saya. “Dia guru, barangkali,” Haviz menimpali. 

Tidak seperti di Jawa, di sini candi-candi memang hampir seluruhnya terbuat dari batubata. Itulah kenapa candi-candi di Sumatra tidak sanggup bertahan menghadapi laju zaman, banyak yang rusak digerinda waktu. Sulit menemukan candi yang benar-benar utuh. Candi Astano pun tidak, sumbing di sana-sini. Narasi sejarahnya pun pada akhirnya menjadi somplak di banyak tempat. Spekulasi-spekulasi berletusan tanpa kepastian. Tetapi tidakkah sejarah sesungguhnya juga berada pada ketidakpastian kebenaran?

Di depan Candi Astano, kanal jernih mengalir. Kami menaiki perahu kecil yang tersadai di pinggirnya, lalu melakoni tur melankolis layaknya bergondola di Venesia. Kami mendayung melewati pohon-pohon, membayangkan perjalanan suci para peziarah Budha ke kawasan ini. Hidup terasa begitu seimbang. Di balik sana, Candi Teluk terletak di Desa Kemingking, terpisah jauh dari kolega-koleganya di komplek Muarojambi. Candi itu berebut wilayah dengan pabrik pengolahan kayu yang berdiri persis di lokasi yang sama. 

Waktu bagai daun kering yang dengan gamang lepas dari tampuknya. Sore datang lagi, sore yang keempat kami di Candi Muarojambi. Kami berangkat menuju pusat Kota Jambi. Masa silam abad ke-7 tinggalah, pusat Kota Jambi tampak gemerlap terlihat dari Batanghari. Gedung-gedung terus bertambah, plaza dan mall tumbuh saban tahun. Perkembangan yang dibiayai oleh dua komoditas yang laris di pasar global: sawit dan karet.

Musik  bernada janggal dari tempat-tempat hiburan di sepanjang jalan Kota Jambi berdentum-dentum sampai  dada. Cahaya lampu berkilauan. Bau bacin sampah saling berebut dengan aroma bumbu dari warung-warung kuliner sepanjang jalan kota. Kendaraan padat berseliweran, saling menyalakan klakson di jalan raya. Betapa lain hawa kota ini sekarang. Udara bagai dipenuhi serbuk tembaga. Hawa sejuk di komplek Candi Muara Jambi yang kami jejali selama empat hari hilang begitu saja dari ingatan saya, dilabrak panas kota yang begitu menyengat kini. Saya tenggelam kembali dalam remang lelampu Kota Jambi,  musik yang berdentuman, juga bayangan Prajnaparamita tanpa kepala di Muaro Jambi. Saya, seperti Arca Prajnaparamita yang tak berkepala, merasa sendirian dikebat sepi. 

Jambi, 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *