Muhammad Fadli: Tertampar fotografer Iran, lahirlah ‘The Banda Journal’
Muhammad Fadli: Tertampar fotografer Iran, lahirlah ‘The Banda Journal’

Muhammad Fadli: Tertampar fotografer Iran, lahirlah ‘The Banda Journal’

FNFotokita Net 01 SEPTEMBER 2016 16.01 WIB

Muhammad Fadli: Tertampar fotografer Iran, lahirlah ‘The Banda Journal’

Ketika pertama kali mendapat kabar soal The Banda Journal, saya langsung merasa gembira dan jatuh cinta. Gembira, karena jujur saja, dalam pengamatan saya, proyek fotografi jurnalistik jangka panjang dengan subjek sejarah—dengan “plot bolak-balik” seperti ini—sangatlah langka. Jatuh cinta, karena proyek ini disajikan dengan begitu memikat.

Namun, tentu saja, ini bukan cuma sebuah “proyek fotografi jurnalistik”.

Muhammad Fadli, fotografer lepas yang karyanya sudah banyak dimuat di berbagai media nasional dan internasional, menggandeng seorang penulis yang juga penikmat sejarah, Fatris MF. Alhasil, The Banda Journal merupakan proyek multimedia yang sangat enjoyable, meski saat ini kontennya masih terbatas.

Belum lama ini, saya berkesempatan berbincang dengan Fadli di kawasan Sarinah, Jakarta. Fotografer dengan ciri kepala pelontos ini—namun murah senyum—bicara panjang lebar soalThe Banda Journal dan hal-hal lainnya. Berikut petikan wawancaranya.Pulau Ay (depan) dan Rhun (belakang) adalah bagian dari Kepulauan Banda. Rhun dikenal sebagai salah satu koloni Inggris paling awal. Pada 1667, melalui Perjanjian Breda, Inggris menyerahkan pulau ini kepada Belanda, dipertukarkan dengan Manhattan. (Muhammad Fadli)

Pulau Ay (depan) dan Rhun (belakang) adalah bagian dari Kepulauan Banda. Rhun dikenal sebagai salah satu koloni Inggris paling awal. Pada 1667, melalui Perjanjian Breda, Inggris menyerahkan pulau ini kepada Belanda, dipertukarkan dengan Manhattan. (Muhammad Fadli)

The Banda Journal, dalam pandangan saya, merupakan satu dari sedikit proyek (multimedia) lokal yang dikemas secara serius. Bisa diceritakan latar belakang hingga muncul ide mengembangkan proyek ini?
Waktu kerja di Tempo, aku suka baca Catatan Pinggir-nya Goenawan Muhammad (GM). Salah satunya mengenai obituari Des Alwi, pada 2010. Tetapi waktu itu belum kepikiran sama sekali untuk membuat proyek ini. Mulai betul-betul tertarik setelah aku mengunjungi Iran pada 2012 dan bertemu fotografer Iran, Newsha Tavakolian. Aku kayak ditampar. Dia [Newsha] bertanya, “Ngapain datang ke Iran?” Aku jawab, “Ya, jalan-jalan, dan mungkin ada story yang bisa digarap. Lalu dia jawab, “Kamu kan orang Indonesia? Harusnya sebagai orang Indonesia kamu lebih banyak tahu tentang daerah kamu sendiri. Itu yang lebih potensial untuk kamu ceritakan.” Saat itulah aku mulai cari-cari lagi soal Indonesia, dan kemudian teringat kembali soal Banda, kira-kira tahun lalu.

Kebetulan aku mengenal Fatris yang sering juga menulis buat teman-teman fotografer, dan menawarkan untuk bekerja bareng. Dia juga sempat ditugaskan ke Banda oleh sebuah majalah wisata. Aku juga mulai membaca buku-buku terkait, dan ternyata banyak sisi-sisi menarik yang kita tidak tahu, seperti Pulau Rhun yang dipertukarkan dengan Manhattan, juga tentang salah satu komunitas multikultural pertama di Indonesia. Lumayan kompleks yang ingin dibahas. Misalnya, ternyata Banda sangat berperan dalam lahirnya kapitalisme global, karena pala merupakan salah satu komoditas global pertama.

Anak-anak muda Banda bersantai di Benteng Hollandia yang dibangun Belanda, di Lonthoir, Pulau Banda Besar. (Muhammad Fadli)

Mulai tahun lalu, aku datang ke Banda. Awalnya ingin bikin buku. Tetapi, takutnya yang bisa menikmati hanya teman-teman fotografer, atau hanya orang yang punya uang [untuk beli buku seharga Rp300.000]. Selain itu, aku ingin ada muatan edukasinya, maka diputuskan untuk membuat website multimedia.

Jadi sama sekali tidak ingin membuatnya jadi buku, atau sebagai liputan di majalah, misalnya?
Ada, untuk cerita-cerita yang lebih spesifik ingin juga bikin newsprint. Tidak menutup kemungkinan juga membuatnya dalam bentuk minibook.

Kunjungan pertama ke Banda, menghabiskan waktu berapa lama?
Tiga minggu. Desember 2014. Di sana total ada sepuluh pulau. Yang dihuni permanen enam pulau. Kunjungan pertama hanya ke tiga pulau: Naira, Banda Besar, dan Ay. Pada April 2015 (kunjungan kedua) barulah ke Pulau Rhun.Sebuah buaian gantung (hammock) diikat ke sebuah pohon yang tumbuh tepat di atas reruntuhan Benteng Swan yang dibangun Inggris. Inggris membangun benteng ini untuk mempertahankan Pulau Rhun dari Belanda. (Muhammad Fadli)

Sebuah buaian gantung (hammock) diikat ke sebuah pohon yang tumbuh tepat di atas reruntuhan Benteng Swan yang dibangun Inggris. Inggris membangun benteng ini untuk mempertahankan Pulau Rhun dari Belanda. (Muhammad Fadli)

Bagaimana kehidupan di masing-masing pulau tersebut? Apakah ada perbedaan yang spesifik?
Pola kehidupan mirip-mirip. Sebagian besar bertani pala, dan jika ombak tenang mereka jadi nelayan tuna yang memang banyak di perairan Banda.

Fatris di sana sempat jadi guru sastra. Bisa diceritakan?
Ya, dia sempat ngajar di SMP di Pulau Naira. Waktu itu dia sedang liputan, lalu berkenalan dengan seorang guru bahasa Inggris, yang akhirnya jadi kenal juga sama aku. Lalu dia [guru itu] entah bagaimana menawari Fatris untuk mengajar sastra (mengarang). Fatris kemudian meminta “murid-muridnya” menulis surat, yang kemudian kami tampilkan juga di website (Surat dari Banda). Cerita-cerita ministory seperti ini akan banyak kami tampilkan di website. Kami sudah membuat daftar ministory yang ingin kami gali, yang masih ada hubungan dengan cerita utamanya. Ada Catatan Pinggir juga, yang terinspirasi dari GM.12218094_10207135939173654_628302206_o

Pohon kenari berusia ratusan tahun ini menjadi pelindung alami bagi tanaman pala di Pulau Ay. Sejak dulu, pala menjadi komoditas penting yang diperdagangkan hingga ke seluruh dunia. (Muhammad Fadli)Bastion Benteng Belgica juga menjadi tempat anak-anak muda Banda menghabiskan senja. (Muhammad Fadli)

Bastion Benteng Belgica juga menjadi tempat anak-anak muda Banda menghabiskan senja. (Muhammad Fadli)

Surat dari Banda justru sudah dikerjakan sebelum ada keputusan untuk bikin website ini. Begitu dia memberi tahu, lalu aku scan dan jadi ministory. Akan banyak soal ini. Banyak banget sisi-sisi menariknya, yang kalau dimasukkan ke dalam cerita utama jadi bertele-tele, tetapi kalau tidak di-publish sayang. Daftarnya sudah panjang, mulai dari cerita perkawinan, perahu kora-kora. Banyak banget.

Sampai pada titik mana proyek ini akan dinyatakan selesai? Ada target harus selesai dalam sekian tahun, atau terbuka kemungkinan untuk terus menambah/update di website?
Sampai saat ini sih belum dibatasi akan jadi seberapa panjang. Yang pasti kami akan selalu update. Kami ingin melihat Banda sebagai refleksi eksploitasi sumber daya alam, yang masih terjadi sampai sekarang; kami ingin memperlihatkan suatu tempat di mana sumber daya alamnya dieksploitasi, tanpa mengembangkan manusianya.

Jadi ini tidak berhenti sebagai “melodrama romantisme sejarah”? Ada unsur kekinian yang ingin digali?
Sama sekali tidak. Kami pikir, jika kami tidak menemukan konteks kekiniannya, ini hanya berhenti sebagai teks sejarah. Justru karena kami melihat relevansi dengan kondisi terkini, proyek ini jadi menarik. Perniagaan pala masih berlangsung. Orang masih bertani pala. Konon, pala-nya masih menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Pala di Grenada itu bibitnya dari Banda.

Petani pala di Banda tidak bisa dibilang miskin, tapi juga tidak banyak bisa berkembang. Pendidikan, selain di Naira dan Banda Besar agak susah. Anak muda di sana sudah malas bertani pala, sementara lapangan pekerjaan tidak banyak pilihan juga. Jadi, begitu selesai SMA, banyak yang hijrah ke Ambon, sebagian kuliah di Jakarta.Seorang gadis warga lokal menikmati jernihnya perairan Banda Naira. (Muhammad Fadli)

Seorang gadis warga lokal menikmati jernihnya perairan Banda Naira. (Muhammad Fadli)

Perniagaan pala akan dibahas secara detail dalam proyek ini?
Detail. Bahan-bahannya sudah banyak, tetapi kami ingin memperkaya lagi. Mulai dari bagaimana Belanda dulu memonopoli pala, sampai perusahaan besar masa kini yang memonopoli perniagaan pala yang akhirnya bangkrut. Sejarah berulang.

Apa ada kearifan lokal soal pala, misal di Tidore buah pala (dan buah apa pun) yang jatuh ke jalan umum menjadi milik yang menemukan, dan sejenisnya…
Di Banda tidak ada sepertinya. Tetapi, di Pulau Rhun banyak hal mistis. Agak aneh dibanding pulau lain, tipikal masyarakat yang agak terasing. Misal untuk melindungi kebunnya ada pohon-pohon yang diikat. Jika mengambil buah di situ, akan kena bala/musibah. Dan itu sering kejadian. Dua minggu sebelum aku datang ke Pulau Rhun, ada seorang lelaki meninggal di hutan, kedua matanya hilang. Orang situ tidak tahu sebabnya, dan di Rhun tidak ada binatang buas. Waktu saya ingin ke hutan, tidak ada yang mau mengantar. Eh, tetapi kemudian malah anak kecil yang berani.Sebuah gudang yang baru dibangun dihiasi lambang pala yang terbelah, di Banda Naira, satu-satunya kota di Kepulauan Banda. (Muhammad Fadli)

Sebuah gudang yang baru dibangun dihiasi lambang pala yang terbelah, di Banda Naira, satu-satunya kota di Kepulauan Banda. (Muhammad Fadli)

Mengenai pendekatan fotografi, sepertinya kebanyakan potret?
Potret akan lebih banyak. Tetapi setelah ini akan ada foto stilllandscape. Kalau momen tidak terlalu banyak, paling subjek-subjek yang terkait sejarah. Tidak ada pendekatan yang terlalu aneh.

Ini proyek yang panjang. Bagaimana menyusun kerangka cerita agar terus mengalir?
Kerangkanya akan lebih fluid/fleksibel. Akan banyak wawancara dengan warga, video-video juga belum masuk. Jadi, soal kerangka tidak terlalu kaku. Fleksibel saja, tetapi tetap ada benang merahnya. Kalau dibikin terlalu terstruktur jadi agak bosan dibaca. Bakal ada behind the scene. Kayaknya menarik juga, bisa bagi-bagi ilmu sedikit bagi yang ingin bikin proyek serupa.

Bakal butuh napas panjang untuk berkomitmen terhadap proyek ini. Ada ketakutan bakalstuck?
Ya, itu yang ditakutkan. Tetapi, paling tidak, dengan membuat produk-produk untuk membantu membiayai [perjalanan] proyek ini, itu menjadi pengingat bahwa kami sudah sejauh ini. Jadi, harus diselesaikan. Yang juga menjadi pelecut semangat adalah keinginan untuk berbagi.Warga menikmati sore di dekat Pelabuhan Banda Naira. (Muhammad Fadli)

Warga menikmati sore di dekat Pelabuhan Banda Naira. (Muhammad Fadli)

Excited sekali sepertinya?
Ya, aku sempat “ngomporin” teman-teman untuk bikin proyek serupa. Aku ingin membalik tren. Biasanya, orang bikin buku foto materinya dirahasiakan sebelum terbit. Ini nggak. Jadi, kalau ada yang ingin mencontek idenya, silakan saja. Ini buat semua orang, bukan buat aku.

(Firman Firdaus)

Sumber : fotokita.net

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *